Dulu pada zaman rasulullah dan para shahabatnya, istilah ahlus sunnah itu tidak populer.

Hingga kemudian ketika kebid’ahan telah merajalela, maka salaf pada zaman berikutnya memperkenalkan istilah Ahlus sunnah untuk membedakan diri dengan kebid’ahan dan para pendukungnya.

Betapa heran saya hari ini, ketika melihat tulisan seorang dai muda yang berasal dari yogya, yang menulis “anekdot keberatan” terhadap istilah “ustadz sunnah” dan “kajian sunnah”.

Bagi orang yang sudah terbiasa dengan jenis-jenis logical fallacy, maka argumen sang dai muda itu sebenarnya tidak berharga, kecuali hanya untuk sekedar mengumpulkan opini dan mencari keridhoan manusia saja.

Tapi bagi orang-orang yang tidak terbiasa mengetahui jenis-jenis logical fallacy, maka mereka umumnya mudah untuk terjebak dan “baper” based on opinion.

***
Rasulullah shalalloohu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya yang shohih diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, dan Ahmad, yang disebutkan oleh shahabat Hudzaifah bin Yaman rodhiyalloohu ‘anhu.

Rasulullah memperingatkan akan adanya nanti da’i-da’i penyeru kepada pintu-pintu neraka jahannam ( دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ )

Da’i-da’i itu orang Islam juga sama seperti kita, yakni bukan orang kafir. Namun mereka menyerukan ajaran dan faham-faham yang menyempal, dari apa yang diajarkan dan difahamkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Oleh karena itulah, dengan berdasarkan hadits dan pemahaman ini, ketika pada masa akhir fase periode sahabat mulai bermunculan kebid’ahan dan para pendukungnya. Ketika muncul orang-orang yang menentang sunnah dan pemahaman sahabat, bahkan ketika sahabat itu masih hidup dan di ada di tengah-tengah mereka.

Maka mulailah istilah ahlus sunnah dipopulerkan sebagai bentuk loyalitas penisbatan.

Masyhur perkataan Ibnu sirin rohimahulloh, murid sahabat dari kalangan tabi’in, yang menyebutkan perilaku Sahabat akan legitimasi pempopuleran istilah Ahlus sunnah ini.

Sikap para sahabat bahwa ketika telah muncul masa-masa fitnah bertebarannya kebid’ahan, maka mereka menjadi tidak sembarangan menerima hadits kecuali jika dibawakan oleh perowi yang terpercaya dari kalangan ahlus sunnah.

Berkata Ibnu Sirin rohimahulloh :

لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ؛ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

“Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun, tatkala telah terjadi fitnah mereka berkata, ‘Sebutkan nama perawi-perawi kalian!’ Kemudian dilihat kepada Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah maka tidak diambil haditsnya.” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/27)

***
Sekarang mari kita kembali lagi ke topik awal.

Keberatan sang dai muda yang berasal dari yogya akan istilah “ustadz sunnah” dan “kajian sunnah” itu, sebenarnya datang dari logical fallacy “black or white” atau logical fallacy “with me or againts me”.

Apa itu maksudnya?

Yakni adanya logical fallacy “anecdotal”, bahwa jika tidak disebut oleh “orang lain” atau jika tidak “menamakan diri” sebagai ustadz sunnah atau kajian sunnah, maka secara otomatis akan dianggap sebagai ustadz yang menyimpang dari sunnah atau kajian yang menyimpang dari sunnah.

Logical fallacy anecdotal ini kemudian digiring kepada logical fallacy yang lain, yakni logical fallacy “black or white”, atau “with me or againts me”. Dikondisikan hanya ada dua opsi saja, sehingga seakan-akan tidak ada opsi kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.

Baik, mari sekarang kita buka opsi ketiga, keempat, kelima, dan point of view yang benar akan masalah ini.

****
Kita katakan :
Mas, kalau sampeyan ingin banget disebut sebagai ustadz sunnah atau kajian sunnah maka ya silahkan saja. Nggak ada orang yang melarang kok. Gratis.

Karena yang paling penting itu adalah hakikatnya yang sebenarnya, bukan hanya sekedar masalah penisbatan.

Justru yang kami ingin tanyakan itu kenapa kok anda tampaknya “keberatan” dan “enggan” menyebut diri anda sebagai ustadz sunnah dan memberikan istilah kajian sunnah?

Apa ini karena hakikat anda itu sebenarnya nggak nyunnah-nyunnah banget?

Atau karena anda memang sengaja menghindari istilah itu, agar bisa dekat-dekat dengan orang dan fihak-fihak yang menyimpang dari sunnah, dan kemudian bisa menyerukan perkataan “Persatuan Islam” atas nama ukhuwah Islamiyyah walau tidak berada di atas sunnah?

Atau apa mas?

****
Dikatakan :
Jika tidak disebut atau menyebut diri sebagai ustadz sunnah atau kajian sunnah, maka secara otomatis akan dianggap sebagai ustadz yang menyimpang dari sunnah atau kajian yang menyimpang dari sunnah.

Mas, yang bilang gitu siapa?

Sekedar penamaan nisbat kepada sunnah sebagai bentuk affirmasi itu, hukumnya mubah-mubah saja. Tidak wajib. Karena yang penting itu hakikatnya.

Nah kalau ada orang yang berkata bahwa itu wajib,
maka penggiringan logika bahwa ustadz atau kajian yang tidak ada embel-embel penisbatan kepada sunnah secara otomatis adalah ustadz atau kajian yang menyimpang dari sunnah, maka ini baru benar jika memang itu hukumnya wajib.

Sekarang antum coba tanyakan kepada para asatidz atau kajian yang menampilkan diri dengan menisbatkan pake embel-embel sunnah. Apakah mereka berpandangan embel-embel itu wajib dan berdosa jika meninggalkannya?

Ataukah itu hanya sekedar affirmasi yang boleh-boleh saja hukumnya, tidak wajib, dan yang penting adalah hakikatnya dan ini yang wajib?

Atau sekarang kita coba balik.

Apakah anda sendiri sebenarnya yang beranggapan, bahwa memakai hanya sekedar embel-embel penisbatan kepada sunnah itu hukumnya wajib? Jika tidak, maka kenapa anda bisa mengambil kesimpulan bahwa jika tidak ada embel-embel penisbatan sunnah secara otomatis itu adalah ustadz atau kajian yang menyimpang dari sunnah?

Logis kan?

Anda ini aneh, alur logika anda itu mewajibkan. Tapi sikap anda berkebalikan dengannya dengan “protes” dan “keberatan” akan hal itu.

Coba cerna baik-baik lagi point saya yang ini

****
Dikatakan :
Jika ada istilah kajian sunnah, maka harusnya ada juga kajian makruh, kajian mubah, kajian wajib, dan kajian harom donk?

Kita jawab, berarti harusnya selain ada istilah ahlus sunnah, harus ada juga istilah ahlul mubah, ahlul wajib, ahlul makruh, dan ahlul harom juga donk?

Mas, wis to, ojo akal-akalan. Mesakne wong-wong awwam sing ora duwe kepinteran koyo sampeyan.

Kalau mau bahasa secara qaidah fiqh “al umuur bi maqooshidihaa” (Tiap-tiap perkara itu dilihat dari maksud tujuannya). Maksud dan tujuan istilah penisbatan “sunnah” yang kita bahas ini, berbeda dengan istilah “sunnah” dalam fiqh mengenai ahkaamul khomsah (hukum yang lima) yang anda maksud.

Dalam bahasa logical fallacy, sikap anda ini namanya “strawman hat”. Atau boleh juga kita katakan “not apple to apple”.

****
Nah sekarang apakah terbuka opsi ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya yang berbeda dengan penggiringan opini logical fallacy “black or white” atau “with me or againts me” yang anda sebutkan bukan?

Mau ditambah lagi opsi dan point of view yang keenam, ketujuh, kedelapan, dan seterusnya sebenarnya juga bisa. Namun saya rasa ini sudah lebih dari cukup.

Semoga ini menjawab keberatan anda akan adanya istilah “ustadz sunnah” atau “kajian sunnah”. Anda nggak perlu iri dengan hal ini sebenarnya. Anda mau pake embel-embel istilah sunnah ini untuk diri anda sendiri dan kajian anda sendiri itu nggak masalah kok.

Free. Gratis. Tidak usah bayar. Tidak ada royalti apalagi merk yang terdaftar.

Yang penting itu adalah hakekatnya, bukan hanya sekedar embel-embel namanya.

Dah gitu aja.