Setelah melihat tayangan di ILC tanggal 4 Oktober 2016 kemarin, saya mencoba memahami argumentasi Ibu Marwah mengenai Kanjeng Dimas.

Argumentasi dalil atau yang lazim disebut Istidlal, ataupun argumentasi hukum Islam yang lazim disebut istinbath, ibu Marwah dalam kacamata fiqh dan ushul fiqh sejauh yang saya perhatikan hanya berkisar dua hal saja :

1. Dalil kisah permintaan Nabi Sulaiman kepada para pembesar-nya, sebagaimana yang tersebut di dalam QS An-Naml : 38-40.

Di sini bu Marwah menekankan di kalimat “ ‘ilmun minal kitaab” (Ilmu dari Al-Kitaab) sebagai dasar argumentasi istidlal dan istinbath beliau, akan Khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) yang dimiliki oleh Kanjeng Dimas.

Kalau boleh sedikit berkomentar, saya agak heran dan menyayangkan kenapa Ibu Marwah di ILC membaca ayat itu hanya dengan bermodalkan membaca terjemahan saja? Itu bukan membaca Al-Qur’an namanya.

Padahal bukan Aib dan hal yang mudah sebenarnya, jika ibu Marwah membaca Al-Qur’an dalam bahasa Arab-nya dan kemudian menterjemahkannya.

Ini saya komentari karena ibu itu adalah anggota MUI yang kemudian mengundurkan diri karena masalah Kanjeng Dimas ini. Selain itu juga termasuk pimpinan ICMI.

Kurang pantas rasanya membaca Al-Qur’an, hanya dengan modal membaca terjemahannya saja.

2. Masalah “pendapat pribadi” ibu Marwah, mengenai kejadian yang diklaim sebagai petunjuk hasil sholat istikhoroh Ibu Marwah selama 1 tahun. Guna membenarkan dan mendukung Khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) yang dimiliki oleh Kanjeng Dimas.

Di sini akan saya bahas satu-persatu argumentasi ibu.

***
Satu,

Dalil mengenai kisah permintaan Nabi Sulaiman kepada para pembesar-nya, sebagaimana yang tersebut di dalam QS An-Naml : 38-40. Dan penekanan dalam kalimat “ ‘ilmun minal kitaab” (Ilmu dari Al-Kitaab) dalam QS An-Naml ayat 40 itu.

Sebelumnya karena ini berkaitan dengan kisah-kisah para Nabi yang terdahulu, maka akan kita bahas bagaimana cara memahami kisah-kisah para Nabi yang terdahulu, untuk keabsahan argumentasi.

Dalam pembahasan Ushul Fiqh, ada pokok bahasan yang disebut “Syar’u man qoblanaa” (Syariat sebelum kita). Syar’u man qoblanaa itu dibagi menjadi tiga :

1. Syariat para Nabi terdahulu yang dinasakh (dihapus), dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah Shalalloohu ‘alaihi wa sallam.

Ini seperti misal :
Di dalam QS. Al-Baqoroh ayat 54, disebutkan kisah Nabi Musa ‘alaihis salaam yang menyuruh bani Israil yang telah berbuat kesyirikan menyembah patung anak sapi, untuk membunuh diri mereka sendiri sebagai bentuk pertaubatan mereka.

Baik itu yang ditafsirkan dengan cara bunuh diri, ataupun menyuruh orang yang tidak menyembah patung anak sapi untuk membunuh yang syirik menyembah patung anak sapi, ataupun menyuruh yang berbuat kesyirikan itu untuk saling membunuh hingga mati.

Dalam syariat Islam, hal itu telah dinasakh atau dihapus aturannya. Bahwa bagi orang yang berbuat kesyirikan, maka hanya cukup diberi peringatan bahwa itu adalah dosa terbesar yang sangat berbahaya, yang bisa menjadikan seseorang menjadi Kafir. Dan kemudian diminta untuk bertaubat dari dosa kesyirikan itu

Mereka tidak diminta untuk membunuh diri mereka sendiri, sebagai bentuk keabsahan pertaubatan mereka.

Lihat juga QS Hud ayat 2-4 untuk hal ini. Rasulullah bertugas untuk memberikan peringatan dan kabar gembira yang termaktub dalam Wahyu yang Allah turunkan, terutama bagi kaum musyrikin Arab Jahiliyyah pada waktu ayat itu diturunkan. Dan mereka diminta untuk bertaubat akan kesyirikan yang mereka lakukan

Atau contoh yang kedua,

Kisah nabi Ibrahim yang mendapatkan Wahyu melalui mimpi, perintah untuk menyembelih anak beliau nabi Ismail ‘alaihis salaam. Dan kemudian ketika menyembelih nabi Ismail maka secara mukjizat yang disembelih itu ternyata berubah menjadi kambing yang gemuk dan besar. Ini sebagaimana yang tersebut dalam QS. Ash-Shooffaat : 99-111.

Demikianlah perintah syariat yang didapatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam.

Dan barangsiapa yang mengaku-aku mendapatkan Ilham mimpi untuk menyembelih anaknya pada zaman sekarang ini, dengan berdalil pada ayat itu, maka dia telah terjebak dalam tipuan Syaithon yang sangat keji. Ini karena itu adalah kisah syariat khusus bagi Nabi Ibrahim saja, sedangkan syariat kita mengharamkan pembunuhan.

Saya kira ini hal yang sangat jelas.

Tidak semua orang yang berdalil dengan kisah-kisah para Nabi yang tersebut dalam Al-Qur’an itu bisa dibenarkan dari kacamata syariat. Bahkan umumnya hal itu hanyalah bentuk tipuan-tipuan syaithon saja.

2. Syariat para Nabi terdahulu yang diteruskan, dan dianggap juga sebagai syariat bagi kita.

Contoh akan hal ini jelas, yakni seperti syariat Puasa yang disebutkan bahwa ini juga disyariatkan Allah kepada para Nabi dan ummat sebelum kita. Sebagaimana yang tersebut dalam QS. Al-Baqarah : 183

Hanya saja perlu dicatat, disyaratkan keterangan dalil yang jelas bahwa syariat ummat sebelumnya itu diteruskan ke dalam syariat kita.

Jadi selain ada “informasi”, harus ada juga “justifikasi”.

Jadi tidak boleh hanya berupa “informasi” berdasarkan kisah-kisah yang tersebut dalam Al-Qur’an saja.

Nabi Sulaiman misalnya, beliau mempunyai istri hingga 90 orang sebagaimana yang di-“informasi”-kan dalam hadits Shohih riwayat Bukhori Muslim.

Namun apakah berdasarkan “informasi” ini saja, langsung otomatis memberikan “justifikasi” kepada kita untuk boleh punya istri hingga 90 orang?

Al-jawab tidak.

Batasan jumlah istri yang boleh dinikahi itu hanya maksimal 4 saja, sebagaimana yang tersebut dalam QS. An-Nisaa ayat 3 dan juga hadits shohih Rasulullah lainnya yang mendapatkan seorang Sahabat mempunyai istri 10, maka langsung diperintahkan untuk diceraikan hingga tinggal 4 saja.

3. Syariat para Nabi terdahulu, yang tidak ada keterangan yang tegas apakah hal ini termasuk hal yang dinasakh (dihapus) ataukah termasuk hal yang dibolehkan dalam syariat kita.

***
Dari penjelasan di atas, maka jelas bahwa kisah Nabi Sulaiman itu termasuk dalam “Syar’u man qoblanaa”.

Nah dari tiga jenis Syar’u man qoblanaa itu, kisah Khowariqul Adah (kemampuan luar biasa) dalam kisah Nabi Sulaiman itu termasuk pada jenis yang mana?

Al- jawab, hal itu termasuk ke dalam syar’u man qoblanaa yang telah dinasakh (dihapus).

Sehingga argumentasi Ibu Marwah Daud Ibrahim dari kacamata Islam, sayang sekali, invalid dan tidak sah digunakan sebagai Istidlal dan Istinbath dalam masalah Khowariqul Adah (kemampuan luar biasa).

****
Penjelasan ke-invalid-an dan ketidak absahan argumentasi kisah khowariqul Adah pada zaman Nabi Sulaiman, adalah sebagai berikut :

1. Khowariqul Adah yang terjadi itu, termasuk dalam bagian KEKUASAAN Nabi Sulaiman ‘alaihis salaam.

Sebagaimana yang tersebut dalam awal QS An-Naml ayat 38. Nabi Sulaiman meminta “dengan kekuasaan” yang beliau miliki kepada para pembesar kerajaan beliau.

قَالَ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ

Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri” [QS. An-Naml :38]

Kenapa kekuasaan itu dinasakh (dihapus)?

Ini karena Nabi Sulaiman sendiri sudah meminta kepada Allah untuk menasakh kekuasaan beliau agar tidak diberikan kepada seorang pun setelah beliau, melalui doa beliau kepada Allah sebagai berikut

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّن بَعْدِي ۖ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

“Nabi Sulaiman berkata: Ya Rabbku, ampunilah aku dan anugerahilah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seseorangpun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 35)

Mafhum korelasi daripada perkataan “الْمَلَأُ “ (para pembesar kerajaan) dalam QS. An-Naml ayat 38, dan perkataan “مُلْكًا “ (kerajaan) dalam QS. Shood ayat 35 itu adalah :

Para pembesar kerajaan yang mempunyai khowariqul ‘Adah itu, adalah bagian dari kekuasaan kerajaan Nabi Sulaiman.

Baik itu jin Ifrit ataupun seseorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab (عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ ), semuanya bagian dari kekuasaan Kerajaan nabi Sulaiman

Sehingga karena Nabi Sulaiman meminta agar kekuasaan dan kerajaan beliau dimansukh, agar tidak ada orang yang memiliki kekuasaan seperti beliau setelahnya. Maka ini termasuk juga pembesar kerajaan yang memiliki khowariqul Adah yang berasal dari “عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ “ (Ilmu yang berasal dari al-Kitab) itu.

Oleh karena itu ketika singasana itu telah dipindahkan di hadapan Nabi Sulaiman, Nabi Sulaiman menisbatkan hal itu sebagai karunia kekuasaan yang Allah berikan kepada beliau. Bukan menisbatkan karunia khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa), yang Allah berikan kepada pembesar kerajaan itu.

قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

Sulaiman berkata: “Ini termasuk kurnia Robb-ku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).

Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Robb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. [QS. An-Naml : 40]

2. Terlebih diriwayatkan dalam Shohih Bukhori, bahwa Rasulullah pernah menangkap dan menguasai Jin Ifrit yang mengganggu beliau ketika Sholat. Lalu beliau hanya mengusir jin Ifrit itu saja karena teringat doa Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salaam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ عِفْرِيتًا مِنْ الْجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ الْبَارِحَةَ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلَاةَ فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ رَبِّ { هَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي } قَالَ رَوْحٌ فَرَدَّهُ خَاسِئًا
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

“Sesungguhnya ‘Ifrit dari bangsa Jin baru saja menggaguku untuk memutus shalatku tapi Allah memenangkan aku atasnya, dan aku berkehendak untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid sampai waktu shubuh sehingga tiap orang dari dapat kalian dapat melihatnya.

Namun aku teringat ucapan saudaraku Sulaiman Alaihis Salam ketika berdo’a: ‘(Ya Rabb, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak akan dimiliki oleh seorangpun setelah aku) ‘ (QS. Shaad: 35).

Rauh (salah seorang perowi hadits) berkata, “Kemudian beliau mengusirnya dalan keadaan hina.” [Hr. Bukhori]

Jikalau kerajaan yang dimaksud nabi Sulaiman ‘alaihis salaam hanya dalam bentuk kekuasaan pemerintahan saja, maka tidak perlu Rasulullah melepas jin Ifrit itu.

Akan tetapi kerajaan yang dimaksud dalam do’a nabi Sulaiman itu, termasuk juga kekuasaan akan khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) yang dimiliki oleh petinggi kerajaan beliau itu.

Baik itu kekuasaan terhadap jin ifrit, ataupun kekuasaan untuk mendapatkan khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) melalui “عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ “ (Ilmu yang berasal dari al-Kitab) kepada para pengikut syariat Rasulullah Shalalloohu ‘alaihi wa sallam.

Dan buktinya, Rasulullah tidak pernah mengajarkan ilmu khowariqul ‘adah (kemampuan luar biasa) kepada para Sahabatnya melalui bacaan tertentu dalam Al-Quran. Ataupun mengajarkan dengan cara harus melakukan suatu amalan tertentu.

Apakah sampai disini sudah faham dulu kiranya apa yang saya maksud?

3. Bagaimana jika ada orang yang ngeyel,

“Tapi itu kan Rasulullah hanya menerangkan masalah kekuasaan untuk menguasai jin ifrit saja. Adapun khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) melalui “عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ “ (Ilmu yang berasal dari al-Kitab) itu tidak?”

Al-jawab ada dua jawaban akan hal ini:

a. Dimas Kanjeng sendiri ketika diminta untuk menggandakan atau mengadakan uang berilah bahwa jin Ifrit peliharaannya kabur ketika waktu dia ditangkap.

Silakan anda lihat sendiri di berbagai berita dan kesaksian Polisi yang menangkap Dimas Kanjeng itu.

Jadi jelas bahwa dia mengaku-aku bisa menguasai jin ifrit. Bukan khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) yang didapat melalui “عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ “ (Ilmu yang berasal dari al-Kitab).

Berarti dia itu lebih sakti atau kurang ajar terhadap syariat Rasulullah Shalalloohu ‘alaihi wa sallam dan juga kepada Nabi Sulaiman ‘Alaihis salaam itu sendiri.

Rasulullah nangkap jin ifrit saja dilepas karena teringat do’a nabi Sulaiman yang memansukh (menghapus) kekuasaannya.

Lha ini jin Ifrit nya kok malah ngaku-aku dipelihara dan dijadikan khodam (pembantu) untuk memperoleh khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) itu.

b. Berbicara mengenai “عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ “ (Ilmu yang berasal dari al-Kitab) yang disebut dalam QS. An-Naml ayat 40. Maka sebenarnya Al-Kitab apakah yang dimaksud?

Apakah yang dimaksud itu adalah Al-Qur’an?

Maka hal itu tidak mungkin, karena Al-Qur’an diturunkan hanya kepada Nabi Muhammad shalalloohu ‘alaihi wa sallam. Bukan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salaam.

Jika Ibu Marwah melihat ke dalam Al-Qur’an terjemahan Depag, yang tentu saja ini sudah disepakati oleh MUI tempat ibu bernaung dulu. Disebutkan penjelasan “Al-Kitab” yang dimaksud adalah Kitab yang diturunkan sebelum Nabi Sulaiman.

Yakni kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud ‘Alaihis Salaam, ayah nabi Sulaiman. Dan kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘Alaihis Salaam

Jadi apakah maksud ibu, “عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ “ (Ilmu yang berasal dari al-Kitab) itu adalah ilmu yang didapat dari kitab Taurat dan Zabur hingga bisa mendapatkan khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) sebagaimana yang didapatkan Kanjeng Dimas itu?

Maka hal ini akan tambah mengada-ada lagi dari kacamata Syariat Islam.

Karena kitab-kitab suci Nabi yang terdahulu itu sudah dimansukh (dihapus) dengan turunnya Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah yang terakhir ini.

Ayat akan hal ini sangat jelas sekali. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai hakim terhadap kitab-kitab yang lain itu;

maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah: 48)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah ketika melihat Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu melihat-lihat lembaran Taurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,

أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا بْنَ الخَطَّابِ؟ أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ؟! لَوْ كَانَ أَخِيْ مُوْسَى حَيًّا مَا وَسَعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي رواه أحمد والدارمي وغيرهما.

“Apakah dalam hatimu ada keraguan, wahai Ibnul Khottob?

Apakah dalam taurat (kitab Nabi Musa, pen) terdapat ajaran yang masih putih bersih?!

(Ketahuilah), seandainya saudaraku Musa hidup, beliau tetap harus mengikuti (ajaran)ku.”

(HR. Ahmad 3: 387, Ad Darimi dalam Al Muqoddimah, 1:115-116, Al Bazzar dalam Kasyful Astar 1: 78-79 no. 124, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah 1: 27 no. 50, Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, Bab Menelaah Kitab Ahli Kitab dan Riwayat dari Mereka 1: 24)

4. Maka barangsiapa yang mengaku-aku mendapatkan khowariqul Adah (kemampuan luar biasa), dengan berdasarkan kisah Nabi Sulaiman dalam QS An-Naml ayat 38-40 itu. Maka dia berada di atas kebatilan.

Dia berada dalam jalan transaksi dengan jin dan sihir perdukunan, walau dia mengaku mengamalkan amalan-amalan yang dikutip-kutip dan dibuat-buat sendiri dari Al-Qur’an.

Walau dia mengaku mengamalkan suatu amalan-amalan ibadah yang tampak Islam, namun tidak pernah dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah shalalloohu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shalalloohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan suatu ajaran apapun ataupun amalan apapun, agar bisa mendapatkan Khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa).

Maka hal ini hanyalah kesesatan, dan jalan untuk bertransaksi dengan jin dan sihir perdukunan. Baik dia mengaku bahwa itu adalah bid’ah hasanah ataupun itu adalah bid’ah sayyiah. Semuanya sama saja.

Hal ini hakekatnya adalah melecehkan Al-Qur’an dan syariat Rasulullah shalalloohu ‘alaihi wa sallam, walaupun orangnya tidak merasa ingin melecehkan Al-Qur’an dan syariat Rasulullah shalalloohu ‘alaihi wa sallam.

Maka dari itu Syaithon sangat senang untuk membantu orang-orang yang berada dalam jalan kesesatan karena kurang ilmu ini.

Dia senang berhubungan dan bertransaksi dengan orang-orang yang merasa melakukan kebaikan, namun sebenarnya menyalahi syariat.

Allah subhaanahu wa ta’aala sendiri sebenarnya telah memperingatkan, masalah orang orang yang mengklaim akan mereka yang mengaku mengikuti apa apa yang terjadi waktu zaman kerajaan nabi Sulaiman. Bahwasanya mereka sebenarnya hanya mengikuti tipu daya syaitan dan terjebak melakukan sihir.

Ini sebagaimana yang Allah peringatkan dalam QS Al Baqarah : 102

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman, padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir). Merekalah mengajarkan sihir kepada manusia…… ” [QS Al Baqarah : 102]

Pada zaman kholifah Umar bin Khoththob pernah terjadi krisis ekonomi yang luar biasa. Sehingga seorang pencuri baitul maal yang tertangkap diampuni oleh Umar dan tidak dihukum potong tangan, karena dianggap dapat udzur di masa yang sangat susah ini.

Kholifah Umar dan para sahabat tidak pernah kemudian mengeluarkan khowariqul adah, dengan menggandakan atau mengadakan harta.

Semoga antum faham apa yang saya maksud.

***
Kedua,

Masalah “pendapat pribadi” ibu Marwah, mengenai kejadian yang diklaim sebagai petunjuk hasil sholat istikhoroh Ibu Marwah selama 1 tahun.

Guna membenarkan dan mendukung Khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) yang dimiliki oleh Kanjeng Dimas.

Maka hal ini relatif lebih mudah untuk dijelaskan dibandingkan yang pertama.

Yang namanya istikhoroh itu adalah dalam hal-hal yang mubah saja, untuk diberikan petunjuk manakah yang lebih membawa mashalahat atau yang lebih terhindar dari madhorot ke depannya. Makanya namanya “Istikhoroh”, meminta untuk ditunjukkan yang terbaik.

Bukan dalam masalah hal-hal yang maksiat ataupun menyimpang dari syariat. Ini sudah hal yang lumrah dalam syariat dan fiqh.

Tidak ada ulama yang membolehkan istikhoroh dalam memilih antara hal yang baik dan maksiat. Atau memilih antara yang lurus dan yang menyimpang dari syariat.

Kita mau sholat istikhoroh untuk memilih mau mencuri atau tidak. Maka tentu ini tidak boleh dan ini melecehkan syariat.

Kita mau sholat istikhoroh untuk memilih mau menikahi seorang laki-laki atau seorang wanita. Maka ini tentu tidak boleh, dan ini melecehkan syariat.

Permasalahannya adalah seseorang yang melakukan sholat istikhoroh, karena tidak memahami bahwa itu sebenarnya adalah kesesatan.

Maka hasil yang diklaim di dapatkannya itu sebenarnya hanyalah tipuan syaithon saja untuk menipu hatinya. Bukan petunjuk dari Allah.

Seharusnya dia mengembalikannya kepada ilmu dan pemahaman yang jelas akan ayat-ayat yang salah dia fahami itu, sebagaimana yang kita jelaskan pada point pertama. Bukan malah sholat Istikhoroh.

Ibnu Abbas rodhiyalloohu ‘anhu ketika berusaha menyingkap kesesatan para pengikut khowarij, maka beliau menerangkan ilmu untuk menyingkap syubhat-syubhat yang dimiliki oleh Khowarij itu.

Beliau bukan malah menyuruh para khowarij itu untuk sholat istikhoroh saja, untuk meminta petunjuk apakah tetap berperang dan mengkafirkan ‘Ali bin Abi tholib. Ataukah bertaubat dan bergabung kembali ke pasukan ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyalloohu ‘anhu.

Syubhat Khowarij juga tidak kalah hebat dibandingkan syubhat Ibu Marwah Daud Ibrahim dan khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa) Kanjeng Dimas. Mereka juga pakai ayat-ayat Al-Qur’an juga.

Akan tetapi Ibnu Abbas tidak malah menyuruh mereka untuk istikhoroh saja, namun menerangkan ilmu untuk menyingkap syubhat-syubhat yang dimiliki oleh mereka.

****
Alhamdulillah, semoga setelah kita terangkan syubhat dua buah argumentasi bu Marwah Daud Ibrahim itu, maka hal ini jadi terang bagi kita.

Mungkin ada yang bertanya,

“Kenapa antum tidak menerangkan masalah Karomah dan Wali Allah, yang biasanya sering digunakan oleh dukun yang mengaku ustadz?”

Jawabnya sederhana, yakni karena :

– Karomah itu tidak selalu berupa khowariqul ‘Adah (kemampuan luar biasa)

– Karomah itu hanya didapatkan oleh orang yang melazimkan diri mengikuti syariat dan sunnah, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang diada-adakan atau kebid’ahan.

Karena syariat Islam ini sudah sempurna, sebagaimana yang Allah firmankan dalam QS. Al-Maidah ayat 3.

Bukan didapatkan kepada orang-orang yang mengaku-aku atau diaku-aku wali Allah. Karena pada hakikatnya yang tahu siapa Wali Allah itu hanya Allah sendiri.

Rasulullah sendiri tidak pernah menyebut atau mendeklarasikan salah seorang sahabatnya, mempunyai kedudukan sebagai wali Allah.

– Karomah itu datang sendiri sekali waktu saja, tidak bisa diulang-ulang, dan juga tidak bisa dipelajari ataupun diajarkan.

Adapun Ibu Marwah Daud Ibrahim dengan berdasarkan syubhat-nya mengaku bisa dipelajari, dengan berdasarkan kalimat “عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ “ (Ilmu yang berasal dari al-Kitab).

Maka jelas ini bukan karomah, dan ini juga bukan wali Allah.

Jadi ya cukup kami jelaskan saja kesalahan-kesalahan beliau dalam memahami ayat tersebut, sebagaimana yang Ibnu Abbas lakukan terhadap kesesatan syubhat kelompok khawarij dalam memahami ayat.

****
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Baarokalloohu fiik