Diskusi di FB Group Mendekatkan Hadits & Sunnah Ke Hadapan Ummat :
************
Quote :
“Bisa di bayangkan jika sanad itu mesti di teliti hingga periwayat di masa ini.Para Ulama sudah mencukupkan dengan sanad yang tersebut di kitab itu saja,untuk selanjutnya sebagian mereka ada yang tetap menggunakan sanad periwayatan hingga ke pengarang kitab tersebut,tapi ini bukan sanad hadits,tapi sanad kitab buat membuktikan bahwa penisbatan sebuah kitab hadits memang benar telah di susun oleh Muhaddist bersangkutan.”

Bisa dishare aqwal atau ijma’ ulama’mengenai hal ini ustadz?

Agar bisa sebagai bantahan thd orang-orang yang selalu menggembar-gemborkan bahwa hanya yg punya “Sanad” dan “Silsilah nasab yg mulia”, dalam tanda kutip, yg berhaq dan punya otoritas dalam menjelaskan Sunnah dan Diin ini. Padahal dalam prakteknya mereka banyak melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
**********
Jawaban diskusi :
**********

Ustadz Habibi Ihsan :
Setau ana untuk sanad dari masa kita kepada pengarang Kitab hadits bersangkutan bukan hal utama,sebab kitab-kitab hadits telah masyhur dan mengemuka,yang seandainya seseorang menemukan sebuah kitab ,shohih bukhari misalnya,lalu dia mengamalkannya dengan penjelasan hadits sebagaimana para Ulama bawakan,ini adalah hal yang sah.

Ya,walaupun sebagian Masyayikh kita,tetap ada yg mementingkan masalah sanad ini,hingga di antara mereka mengambil sanad2 kitab itu dari para Ulama sebelumnya hingga ke penyusun kitab-kitab hadits tersebut,Syaikh Ali HasanHalaby (muridnya Syaikh Al-albani) misalnya beliau sempat mengambil sanad periwayatan berbagai kitab hadits dari seorang Ulama yg di kenal punya ratusan sanad tersambung kepada penyusun kitab-kitab hadits tersebut,yaitu Syaikh Yasin Al-padani.

Ana pribadi punya sanad melalui jalur Syaikh Yasin ini.

Untuk penjelasan lebih luas tentang masalah sanad-sanad Kutub Hadits bisa di tanyakan kepada Ustadz Rikrik Aulia Rahman beliau spesialis dalam masalah ini
*******************
Diskusi Lebih Lanjut :
*******************
Na’am ustadz,
setau ana memang yg bersisa hanyalah ijazah sanad periwayatan hadits dari kutubul hadits, dan juga periwayatan dalam bentuk model wijadah (penemuan).

Sebagian besar dari ummat yg belum memiliki kesempatan untuk talaqqi kepada Syaikh yg mempunyai sanad ijazah periwayatan hadits dari kitab2 hadits, umumnya mengambil periwayatan hadits dengan cara wijadah.

Imma dengan cara membeli kitab, melihat dari tulisan di situs ataupun yg lain2 semisal.

Adapun maksud pertanyaan saya:
Terdapat sebagian orang yg ta’ashub dan muqollid, mengklaim bahwa yg berhaq memahami dan menjelaskan hadits hanyalah orang yg mempunyai sanad ijazah periwayatan kitab hadits.

Orang Islam secara umum yg biasanya mendapatkan hadits dengan cara wijadah dipandang tidak berhaq dan tidak punya otoritas dalam memahami, menjelaskan, dan berdalil dengan hadits dalam suatu perkara.

Bagaimanakah perincian bantahan terhadap syubhat ini, terutama dari qoul ulama yg ahlul hadits itu sendiri?

Padahal orang yg mendapatkan ijazah itu bukanlah mesti orang yg mempunyai pemahaman dan manhaj yg shohih. Dan sanad ijazahnya juga bukanlah sanad dalam artian dia adalah seorang perowi yg berlaku padanya jarh wa ta’dil dalam kemaqbulan untuk menerima periwayatannya.

Jazakallloh khoir

******************
Jawaban Diskusi :
******************
Ustadz Rikrik Aulia Rahman :
Ahli Hadits Mesir Syaikh Ahmad Syakir, pentahqiq musnad ahmad rahimahullahu berkata,

والكتب الأصول الامهات في السنة وغيرها : تواترت روايتها الى مؤلفيها بالوجادة ومختلف الاصول العتيقة الخطية الموثوق بها. ولا يتثكك في هدا الا غافل عن دقة المعنى في الراوية والوجادة اومتعنت لا تقنعه حجة

“Dan kitab-kitab pokok dalam sunnah dan selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan cara al-wijadah. Demikian pula berbagai macam buku pokok yang lama yang masih berupa manuskrip tapi dapat dipercaya, Tidak meragukan keabsahannya kecuali orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al-wijadah, atau orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah”. (Al Baitsul Hatsits hal 126 –cet Darul Kutub Al-Ilmiyah).

Imam As-Sayuthi (w. 911 H/ 1505 M) dalam Tadribur Rawi fi Syarah Taqrib An-Nawawi hal 75-76 mengatakan,

قَالَ ابْنُ بَرْهَانٍ فِي الْأَوْسَطِ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ كَافَّةً إلَى أَنَّهُ لَا يَتَوَقَّفُ الْعَمَلُ بِالْحَدِيثِ عَلَى سَمَاعِهِ بَلْ إذَا صَحَّ عِنْدَهُ النُّسْخَةُ جَازَ لَهُ الْعَمَلُ بِهَا وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ ، وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو إِسْحَاقَ الْإسْفَرايِينِيّ الْإِجْمَاعَ عَلَى جَوَازِ النَّقْلِ مِنْ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَلَا يُشْتَرَطُ اتِّصَالُ السَّنَدِ إلَى مُصَنِّفِهَا وَذَلِكَ شَامِلٌ لِكُتُبِ الْأَحَادِيثِ وَالْفِقْهِ ، وَقَالَ الطَّبَرِيُّ مَنْ وَجَدَ حَدِيثًا فِي كِتَابٍ صَحِيحٍ جَازَ لَهُ أَنْ يَرْوِيَهُ وَيَحْتَجُّ بِهِ

“Berkata Ibn Barhan didalam kitab Al-Ausath: Ahli fiqh secara keseluruhan berpendapat bahwa mengamalkan hadits tidak hanya terbatas dengan mendengarkannya saja, bahkan jika teks hadits itu shahih menurutnya, maka boleh mengamalkan teks hadits itu walaupun tidak didengarkan. Ustadz Abu Ishaq Al-Asfarayaini menceritakan ijma atas bolehnya menukil dari beberapa kitab yang menjadi pegangan dan tidak diisyaratkan bahwa sanadnya harus bersambung dengan penulisnya, sama saja baik kitab-kitab hadits atau fiqh. Ath-Thabari berkata, “Barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits didalam kitab shahih, maka ia boleh meriwayatkannya dan berhujjah dengannya”.

Syaikh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi Ahlu Hadits dari Syam menyebutkan pula nukilan ijma ini dalam kitabnya Al-Mashu ’ala Al-Jaurabain hal 61. Kitab ini diberi muqadimah oleh Syaikh Ahmad Syakir dan dikomentari oleh Syaikh Al-Albani. Al-Qasimi menyebutkannya pula dalam Qawa’id al-Tahdits hal 213.

Perlu diketahui, semua Ahli hadits yang telah ana sebutkan diatas memiliki sanad periwayatan, barokallahufikum.

**********
Khotimah
**********
Jazakalloh khoir ustadz Rikrik Aulia Rahman,

Alhamdulillaah,
ini hujjah yang sangat kuat untuk membantah para muqollidin yg berusaha untuk menolak nasehat dan al-Haq dari orang2 yg mendapatkan hadits shohih dengan cara “wijadah”, dengan syubhat arogansi kesombongan “sanad ijazah” yang diaku-aku dimiliki oleh guru mereka yg mereka taqlidi itu.

Izin untuk mengutip dan menshare penjelasan para ulama yg antum berikan itu.

Baarokalloohu fiik